Umur tiada yang menduga, padahal Ramadan tahun lalu, saya dan istri berbuka puasa bersama dengan dr.Bob di klinik beliau di kawasan Utan Kayu saat istri sedang persiapan tindakan untuk kuret. Masih teringat hidangan sop iga sapi dan somaynya.
Sudah banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat yang terbantu oleh dr. Bob Ichsan Masri dan kliniknya. Untuk bisa konsultasi di klinik ini tidak mudah, harus datang pagi untuk ambil antrian dan datang kembali sore hari untuk periksa. Siapa cepat dia dapat, hanya dibatasi kalau tidak salah 20-30 orang perhari.
Bagi yang pertama kali datang ke klinik dr.Bob di Duta Merlin, pasti ada terbersit keraguan. Pintu depannya tidak tampak layaknya sebuah klinik, banyak terparkir motor, satu tempat disisakan untuk parkir mobil dr. Bob Ichsan Masri. Cat gedung yang sudah nampak pudar dan dari depan hanya ada plang nama kecil bertuliskan Obginozone Health Center kombinasi warna hijau, ungu dan putih.
Lantai pertama adalah pendaftaran, lantai kedua ruang periksa dan lantai ketiga ruang rawat inap. Maaf kalau saya salah detilnya, karena sudah cukup lama. Tapi kalau kita bertanya ke semua orang yang ada dikawasan ruko Duta Merlin, pasti tahu lokasi klinik ini. Jujur setelah kliniknya pindah ke Utan Kayu, kondisinya jauh lebih bagus dan nyaman untuk para pasien yang datang.
Saat jumpa pertama kali, impresi kami mengenai dr Bob Ichsan Masri adalah sosok yang ceplas-ceplos, ngomongnya kadang lo-gue dan senang ngobrol. Karakter dokter yang selalu mengusahakan kelahiran normal macam ini cocok untuk kami, saya yang kadang kurang puas sama dokter yang diam saja, istri yang saat itu bekerja sebagai wartawan group media besar nasional juga sangat nyaman, ketika semua pertanyaan kami dijawab dengan sangat sederhana.
Banyak celetukan atau pemikiran dr. Bob yang nyeleneh, kalo gampang emosian pasti gak bakal balik lagi. Kami sih nyaman, terlebih dr. Bob Ichsan Masri kalau kita ajak disksui (lebih tepatnya debat) masih mau mendengarkan walau tetap mempertahan pendapatnya dengan alasan yang jelas.
Selain sifat ceplas-ceplos, ada banyak cerita yang tersebar mengenai kedermawannya.. Mulai biaya USG 4D (kala itu, teknologi tercanggih) yang paling murah, sampai cerita mengenai pasangan yang tidak mampu atau uangnya belum cukup untuk biaya melahirkan tetap di ijinkan pulang. Diikhlaskan, kalau ada rejeki silahkan dicicil, kalau lupa ya biarkan saja.
“Tidak usah ditulis, nanti saya makin banyak musuhnya” Ujar dr.Bob ketika istri coba mewancara dan berniat untuk dijadikan artikel mengenai curhatannya tentang rumah sakit yang semakin komersil.
Diagnosa pada pertemuan pertama kami di klinik dr.Bob adalah, perlunya perawatan suntikkan untuk menguatkan paru janin dalam kandungan, karena ada resiko plasenta previa ditambah riwayat kekentalan darah yang dimiliki istri.
Sederhananya seperti ini, janin dalam bayi butuh asupan makanan yang disalurkan melalui tali pusar. Semakin besar usia janin, semakin besar juga kebutuhan makanan. Kalau ada riwayat kekentalan darah, maka asupan makan akan terhambat atau kurang lancar karena tertahan. Kalau terhambat, janinnya “keburu lapar” bergerak aktif (namanya juga lapar) karena gak ada makanan yang akhirnya akan memaksa keluar diwaktu yang tidak bisa ditebak.
Untuk itu diperlukan suntikan agar paru-paru bisa lebih siap dan kuat ketika si janin memaksa keluar. Usia kandungan istri saat itu adalah 8 bulan. Kami disuruh berdikusi dan disarankan untuk segera perawatan 1x24jam, karena suntikan paru dibagi dalam 4 tahap selama 6 jam sekali.
Akhirnya kami putuskan untuk dirawat, tanpa persiapan apapun, baju hanya ada yang dibadan, beruntung masih punya pegangan uang untuk beli sabun dan perlengkapan lainnya, kurang lebih jam 20.00 kami langsung masuk ruang rawat inap yang isinya, para ibu yang yang sedang mempersiapkan kehamilan dengan berbagai macam kondisi.
Bermalam di klinik yang awalnya hanya untuk cek kandungan dan USG tidak membuat kami panik, yang pertama kami lakukan saat itu menelpon ayah dan ibu di Kreo untuk mengabarkan bahwa kami tidak pulang malam ini dan meminta adik untuk antar pakaian ganti ke klinik esok pagi.
Semua berjalan lancar, pagi hari adik mengantar pakaian, siang hari bapak saya dari Bekasi tiba-tiba saja datang menjenguk dan menemani “habis cari spare part mobil dan sambil menuggu buka puasa” ujarnya. Tentunya kami senang ada yang menemani.
Pukul 15.00 suntikan tahap ketiga di berikan dan satu suntikan lagi, jam 21.00 maka kami sudah diperbolehkan pulang.
*Untuk melanjutkan bagian ini, saya harus berhenti dan menata hati, karena ini pengalaman yang sebisa mungkin, saya tidak mau berada dalam kondisi itu lagi. Saya perlu rehat 3-4 hari untuk melanjutkan bagian ini.
Kepanikan Ba’da Ashar di Klinik dokter Bob Ichsan Masri
“Kok kasurku basah, ngompol ya?” Tanya istri dengan penuh keheranan. Tanpa ada perasaan aneh, saya coba cek kasurnya dan ternyata memang basah. Dilain kesempatan, saya baru tahu, cairan yang kami pikir urine, adalah cairan ketuban.
Kami pun coba menuju kamar mandi, tak berapa lama, belum sempat kami turun dari kasur, cairan merah gelap tiba-tiba keluar dengan sangat deras. Seketika kami panik, dan memanggil suster. Dari raut wajah suster pun saya bisa membaca kalau mereka panik. Disaat itu, naluri saya membaca, ini bukan kejadian yang biasa.
Dikondisi tersebut, saya tidak bisa berfikir banyak hanya mengikuti instruksi suster yang langsung mengerubungi tempat tidur kami. Setidaknya ada 3-4 suster yang menangani istri. Kain batik, baju daster istri sudah habis untuk mengelap darah yang terus menetes dilantai klinik.
Sore itu, dr.Bob datang tepat waktu dikilinik karena di Rs.Kartika tempat beliau praktek, sedang tidak ada penanganan darurat. Kedatangan dr. Bob Ichsan Masri memang tidak menentu, menunggu selesai jadwal di Rs Kartika, tapi pasti datang ke klinik Duta Merlin.
Dr Bob langsung ambil alih tindakan, secara detil saya tidak ingat apa yang terjadi diruangan tindakan. Saya seperti zombie, hanya bisa melihat istri yang banyak kehilangan darah, memegang kakinya yang mulai dingin dan menatap wajahnya yang tidak terlihat kesakitan malah cenderung tenang.
Justru bapak yang menceritakan apa saja yang terjadi diruang tindakan setelah Dahayu lahir dengan selamat.
“Dokternya canggih, tangan kanan dan kiri Wawa dipasang infus, lalu infusnya di press menggunakan alat tensi manual” Jujur saya ragu apakah benar, atau bapak saya juga panik jadi salah lihat. Tapi saya berasumsi tindakan tersebut agar cairan infusnya bisa lekas masuk untuk menggantikan cairan dan darah yang terlanjur keluar sangat banyak.
“Apa yang ibu rasakan” Kalimat ini yang yang sering saya dengar keluar dari mulut dokter, untuk menganalisa kondisi istri. Beruntung istri tipikal yang aktif berkomunikasi, dan selalu bisa mendeskripsikan kondisi tubuhnya. Dan ini sangat penting, jadi buat siapapun dalam kondisi darurat dalam penangan dokter, harus update apa yang dirasakan agar tenaga medis paham kondisinya, ketimbang meraung-raung kesakitan.
“Saya ngantuk dok” Ujar istri.
“Jangan tidur ya bu” Sahut dr.Bob, disusul para suster yang bergantian mengajak berkomunikasi menjaga agar istri tidak tertidur.
Sepersekian detik nafas ini tercekat, satu hal yang harus saya lakukan saat ini adalah menelpon Ayah Ibu di Kreo untuk mengabarkan kondisi istri. Tapi saya harus bilang apa? Saya tidak mau membuat semua panik, tapi dalam kondisi seperti ini doa orang tua sangat kami butuhkan untuk menenangkan hati ini dan menepis prasangka buruk.
“Ibu minta doanya ya, Wawa lagi ada tindakan dokter karena pendarahan. Pokoknya doakan saja” Kata saya singkat, bukan tidak ingin menjelaskan secara detil, tapi saya tidak kuat menahan suara yang mulai bergetar dan air yang mulai turun dari sudut mata. Sambil bersandar didinding klinik.
Saat dewasa saya jarang menangis, sampai masih ingat momen apa saja saya menangis selain saat Istri dalam kondisi kritis. Dua diantaranya adalah ketika Mamah dan Dayu kembali kepada sang Khalik.
Dinding klinik yang terbuat dari batu bata terasa lemah menopang senderan tubuh saya yang tiba-tiba lunglai duduk dilantai setelah menelpon ibu. Tidak butuh lama, untuk saya berdiri dan kembali masuk kedalam ruang tindakan.
Suasana jauh lebih tenang, Bapak masih memegang tangan istri, pergerakan suster jauh lebih santai sambil membersihkan ruangan sesekali mengecek kondisi istri. Tapi saya tidak melihat dokter Bob Ichsan Masri.
“Istri bapak sudah stabil tapi harus segera dirujuk ke RS Kartika Pulomas, Bayinya masih selamat didalam kandungan, tapi dia kini harus berjuang sendirian tanpa ada asupan makanan dan oksigen”. Mendegar penjelasan dokter, kepanikan yang sempat reda kini kembali memuncak. Membayangkan si kecil Dayu berjuang hidup sendirian didalam perut ibunya.
Sanggupkah dia bertahan? Alhamdulillah Dayu bisa bertahan, walau efeknya ada keterlambatan gerak di sensor motorik otak karena tidak ada asupan oksigen dan makanan selama beberapa waktu.
“Saya shalat maghrib dulu ya pak” Ujar dr. Bob IChsan Masri sesaat kami sudah standby di mobil pribadi dokter (kalau tidak salah merk Nissan Serena) yang sudah disetting sedemikan rupa agar istri nyaman. Ada tabung oksigen 1 kubik yang diikat kebagian tengah mobil, infusan yang di gantung dan satu suster yang menemani sambil membawa berkas.
.jpg) |
Senyum Pertama Dahayu Hadiya Raji di RS Kartika Pulomas yang Berhasil Kami Abadikan |
Akses Darurat Untuk Pasien dokter Bob Ichsan Masri
Tantangan selanjutnya adalah menembus kemacetan jakarta dari Harmony ke Pulomas. Jaraknya tidak sampai 10km, tapi ini Jakarta di waktu jam pulang kantor, saya sudah membayangkan hal terburuk, tapi tidak saya ceritakan ke istri yang saat itu sedang mencoba istirahat.
Keajaiban Tuhan, atas doa orang tua, dokter dan suster, perjalanan kami dilancarkan, tidak sampai 30 menit, tanpa pengawalan, kami sudah sampai di RS Kartika.
Sampai di Lobby, istri turun menggunakan kursi roda, sementara dr Bob memarkirkan kendaraan. Yesss, dr Bob yang mengendarai sendiri mobilnya, mengantarkan kami pasiennya yang baru kali pertama bertemu untuk konsultasi.
“Pasien klinik dr Bob” Ujar Suster klinik yang menemani kami kepada suster rumah sakit yang ada dibagian registrasi, sambil memberikan berkas.
Tidak ada hitungan 10 menit, istri langsung dibawa masuk kedalam ruangan untuk operasi cesar. Padahal kami adalah pasien dari klinik kecil di Duta Merlin, bukan pasien asli di rumah sakit tersebut, dan saya hanya bisa memohon maaf dalam hati karena merasa tidak enak melewati antrian beberapa ibu yang akan melahirkan, kalau saja tidak dalam kondisi darurat lebih baiknya sesuai antrian, pikir saya.
Hati saya sudah mulai bisa tenang begitu istri masuk ruang operasi, sebagian besar beban, kepanikan sudah mulai bisa saya kontrol, saya sudah bisa menarik napas sejenak sambil memikiran apa yang harus saya lakukan kemudian.
Kurang lebih antara jam 20.00 s/d 21.00 Dahayu Hadiya Raji lahir, resmi jadi anak Jakarta. Kami memanggilnya si pejuang, pejuang tangguh saat dimasa-masa kelahiran, pejuang bertahan hidup tanpa oksigen dan makanan selama perjalan ke rumah sakit, pejuang saat melakoni terapi motorik tiap minggu dan pejuang ketika 5 hari diruang ICU, sampai Dayu kembali ke sang khalik.
 |
Rutinitas pagi kami bersama Dayu, saat terapi di rumah. |
Pasca operasi cesar, saya hanya bisa melihat Dayu dari balik kaca dan memberikan gambaran ke istri yang masih mengigau sisa bius pasca operasi cesar. Senyuman pertama Dayu sangat indah dan berhasil diabadikan.
Di pojok ruang tunggu rumah sakit, saya melihat bapak yang tertidur berbantalkan tas berisi pakaian. Saya yakin fisik dan mental bapak juga terasa sangat lelah setelah menemani kami. Dan saya pun teringat, kalau beliau belum sempat saya berikan makanan untuk berbuka puasa.
30 menit kemudian seporsi nasi goreng sesuai permintaan beliau sudah siap di santap. Terima kasih sudah menemani secara tak terduga, entah bagaimana kalau siang itu bapak tidak “iseng” mampir ke klinik.
Terima kasih Ibu dan Ayah yang sudah mendoakan kami dari jauh, esok harinya mereka datang menjenguk keadaan anak perempuan satu-satunya dari 8 bersaudara.
Terima kasih Almarhum dr.Bob Ichan Masri atas semua pertolongannya dan semua suster di klinik. Sampai diujung perawatan, klinik dokter Bob masih menawarkan bantuan terkait pembiayan rumah sakit.
“Invoicenya mau ikut harga klinik atau rumah sakit, karena beda harga. Klinik lebih murah” Ujar suster yang menghubungi. Kami putuskan ikut harga rumah sakit walau lebih mahal, karena itu bisa dicover oleh asuransi perusahaan sesuai sistem yang berjalan.
Terima kasih ya Allah atas semua kemudahannya selama ini, terima kasih sudah mempertemukan kami dengan orang-orang baik, terima kasih sudah memberi kami kesempatan 3.5 tahun belajar mengenal kehidupan baru bersama Dayu.
Terima Kasih