Artikel Populer Bulan Ini

Berantas Stigma, OYPMK Berdaya

"Ahh orang Betawi mah males-males"

"Orang Padang pelit-pelit tauuk"

"Orang Cina itu licik"

"Orang Jawa, pendiem tapi nusuk dari belakang"

"Janda pasti ganjen"

Pernah denger selentingan kaya gitu gak?

sumber gambar (www.freepik.com)

Selintas pasti pernah, dan saya sejak SMP selalu paling menolak mengenai stigma-stigma yang menyamaratakan manusia hanya karena ada sebagian kecil manusia lain berperilaku seperti itu.


Pun saya tidak terlalu percaya dengan zodiak. Kita pasti tau, bahwa milyaran manusia diciptakan dengan keanekagaraman daya pikir dan sifat. Aneh menurut saya kalau, sifat dan karakter manusia dipengaruhi bulan dan tahun lahir. Walau mungkin sudah ada penilitian secara empiris, tapi itu bukan sesuatu yang mutlak.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.


Dan yang menarik, karena saya mau bahas mengenai Stigma OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta), Kementerian Kesehatan (2012), mendefinisikan bahwa stigma merupakan tindakan memberikan label sosial yang bertujuan mencemari seseorang atau sekelompok orang dengan pandangan buruk.


Output final stigma adalah mendiskreditkan seseorang.


Sangat banyak stigma mengenain penyintas kesehatan yang beredar di masyarakat yang akhirnya sangat merugikan tidak hanya penyintas tapi juga keluarga dan orang-orang terdekat.


Stigma ada beberapa tipe, Stigma Public, Self Stigma, Felt or Percieved Stigma dan Structural Stigma.


Structural Stigma sangat terkait dengan tema acara Ruang Publik KBR pada tanggal 27 Juli 2022 kemarin. Acara yang bekerja sama dengan NLR Indonesia ini menghadirkan narasumber Agus Suprapto, DRG. M.Kes, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK RI dan Mahdis Mustofa dari Makasar, penyintas OPYMK berdaya.


Sayang bapak Agus Suprapto tidak bisa mengikuti acara sampai akhir karena kendala waktu,tapi saya dapat cerita banyak dari pak Mahdis.


Pak Mahdis terdiagnosa pada tahun 2010, saat umur beliau 26 tahun. Pada awalnya, orang tua menyembunyikan kondisi kesehatan anaknya dan hanya memberitahu kalau beliau hanya mengidap alergi. Namun pak Mahdis muda penasaran kenapa harus minum obat selama 9 bulan tanpa henti. Akhirnya beliau mencari informasi mengenai obat yang dia konsumsi, dari sana beliau akhirnya tahu kalau terdiagnosa kusta.


Stigma mengenai penyintas kusta sempat membuat pak Mahdis tidak percaya diri dan drop secara mental. Stigma strucutural sangat jelas terasa, terutama saat mencari kerja.


Bahkan saat itu institusi kesehatan (apotik) yang seharusnya sudah teredukasi dengan baik malah tidak mau menerima penyintas kusta untuk bisa bekerja.


Akhirnya tidak sedikit para penyintas kusta yang berbohong saat akan melamar bekerja dan menutupi kondisi kesehatan mereka.


Tapi tidak dengan pak Mahdis, beliau secara terang-terangan memberi informasi bahwa dirinya adalah penyintas kusta. Tidak sedikit perusahaan yang menolak karena status penyintas kusta, bukan karena keahlian yang kurang sesuai.


Bapak Agus Suprapto, menegaskan "orang sembuh (penyintas) kesetaraannya sama dengan orang normal".


Jadi mereka berhak mendapatkan hak seperti warga negara lain.


Berkat kegigihan dan semangat bekerja pak Mahdis, kini beliau sudah menjadi supervisor membawahi dua divisi. 80%-90% tim yang bekerjasama dengannya adalah para penyintas kusta, dan semua bisa bekerjasam dengan maksimal.


Penyintas kusta jika diberikan hak yang sama, baik itu pendidikan atau pekerjaan, tidak ada bedanya dengan manusia lain. 


Semoga saja stigma yang merendahkan penyintas kusta bisa berkurang dan perusahaan bisa memberdayakan para penyintas kusta.


Hmmm penasaran, di Jakarta ad anggak ya yang mempekerjakan penyintas kusta?

Komentar

Paling Banyak di Baca