Artikel Populer Bulan Ini

Buku Lima Hutan Satu Cerita, Desa Sarongge dan Hutan Kopi

Hutan sosial adalah program pemerintah yang sudah ada sejak lama namun belum dimaksimalkan. Tapi kalau membaca buku Lima Hutan Satu Cerita, saya optimis program ini akan berkembang dan berguna bagi seluruh rakyat Indonesia.
buku lima hutan satu cerita
(kiri ke kanan) Dr Ir Bambang Supriyanto, Diah Suradiredja, Didik Suharjito, Tosca Santoso, Bagja Hidayat

Jumat 5 April 2019 saya diundang oleh kementerian lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk berbincang mengenai hutan sosial, lebih tepatnya buku yang di tulis oleh mas Tosca Santosa. Karena saya pernah menulis mengenai hutan sosial petani udang di daerah Muara Gembong Bekasi, saya sangat antusias saat diminta hadir ke acara tersebut.

Acara ini dibuka oleh Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Dr Ir Bambang Supriyanto. Selain itu juga di hadiri oleh bang Tosca Santoso selaku penulis buku Lima Hutan Satu Cerita, juga hadir Didik Suharjito (Guru besar fakultas kehutanan IPB) dan Diah Suradiredja (Pokja Perhutanan Sosial) yang di moderatori oleh Bagja Hidayat (Pemimpin Redaksi Forest Digest).

Perhutanan sosial adalah suatu usaha untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan oleh beberapa pihak saja.

Total akan ada 12,7 hektar lahan yang dibagikan, namaun harap diingat, lahan yang dibagikan bukan semerta menjadi hak milik warga, tapi hak kelola saja selama 35 tahun. Dan akan selalu di evaluasi dalam 5 tahun sekali, apakah ijinnya bisa diperpanjang atau tidak. Jadi salah kalau ada stigma pemerintah membagikan lahan.

Karena pihak yang mendapat ijin, disamping memanfaatkan lahan untuk produksi, mereka juga wajib merawat hutan, dan ini merupakan Kombinasi yang baik antara konservasi berpadu dengan kesejahteraan rakyat.

Yang bisa mengajukan dan mendapatkan sertifikat hutan sosial adalah kelompok tani, organisasi desa, koperasi bukan individu. Ini salah satu bentuk menghindari tanah atau hutan milik negara diperjualbelikan. Dan dalam jangka waktu 3 atau 5 tahun, sampai akhir 2018, sudah ada sekitar 2,5 juta hektar yang berhasil dibagikan.

Pemerintah selain memberikan ijin pengelolaan lahan, harus juga memperbaiki percepatan kerja birokrasi, pendampingan, dukungan modal serta akses pasar untuk petani. Agar semakin bermanfaat dan semua jadi satu paket untuk mensejahterakan petani tepi hutan.

Buku 5 Hutan 1 Cerita ini sangat diapresiasi oleh Ibu Siti Nurbaya Bakar selaku Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Buku ini enak dibaca mudah dipahami dan bisa dengan sangat cepat dan tidak terasa bahwa kita sudah selesai membaca dan bisa memetik pelajaran berharga dari buku ini”

Ibu Siti Nurbaya menangkap perlu ditingkatkan implementasi untuk pengembangan terkait investasi teknologi dan kelembagaan, lalu fasilitas infrastruktur pendampingan atau penyuluhan juga pengawasan bagi para petani.

Implementasi perhutanan sosial mutlak membutuhkan pendampingan dari aktivis atau akademisi selain bimbingan penyuluhan dan pengawasan perhutanan.

Dampak dari Perhutanan sosial sangat luas tidak hanya bagi petani tapi juga untuk pemerintah daerah dan juga Perhutani, karena bisa menggerakkan ekonomi daerah yang berbasis pertanian.

Buku 5 hutan 1 cerita ini diterbitkan oleh Yayasan Prakarsa Hijau Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang didirikan pada tahun 2010 ini mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan. Salah satu gerakkannya adalah menghutankan kembali bukit-bukit Sarongge. Yayasan Prakarsa Hijau Indonesia juga aktif dalam pendampingan perhutanan sosial dan Citarum Harum.

Sesuai judulnya 5 hutan 1 cerita, dibuku ini ada lima cerita mengenai hutan sosial. Pertama cerita tentang Mangrove di Padang Tikar, lalu Hutan Adat Mata Air Ribuan Hektar Sawah kemudian Ketika Hutan Rakyat Lampaui Luas Hutan Negara dilanjutkan Dungus Bernaung Jati Setengah Hati ditutup dengan cerita Sarongge Kopi dan Mimpi Petani.

Bahasa dalam buku ini ditulis dengan gaya deskriptif mengingatkan saya kalau baca buku Laskar Pelangi Andrea Hirata, jujur saya sempat kaget saat membaca pertama kali buku ini. Contoh paragraph pembuka di tulisan berjudul Merawat Mangrove di Padang Tikar.

“Pagi belum beranjak jauh. Kedai-kedai di tepi Pelabuhan Rasau, masih sepi. Ini Pelabuhan Kecamatan yang biasanya ramai di Kubu Raya, kalimantan Barat. Mungkin karena terlalu pagi, hanya satu dua calon penumpang, tampak menikmati kopi atau teh.

Mereka usir sisa kantuk, sembari menunggu perahu berangkat. Saya hampiri petugas tiket, untuk memastikan dapat kursi ke Padang tikar. Desa yang kini dikenal luas karena dipercaya mengelola hutan negara seluas 76000 hektar lebih.”

Cerita mengenai hutan sosial di Padang Tikar berawal ketika warga dan sebuah LSM yang bernama Sahabat Masyarakat Pantai atau biasa disebut SAMPAN memperjuangkan pulau mereka dari korporasi besar.

Karena di akhir tahun 2012 ada perusahaan yang tiba-tiba membuka hutan lindung di Padang tikar tanpa berunding, tanpa informasi yang jelas tiba-tiba mereka membuka lahan untuk perkebunan sawit.

Hal ini ditolak ramai-ramai oleh warga, di wakili 9 kepala desa di pulau itu, mereka menentang rencana perkebunan sawit karena dari beberapa pengalaman tentang daerah yang pernah ditanami sawit, maka daerah tersebut tidak lagi produktif.

SAMPAN adalah LSM yang didirikan pada tahun 2009 di Kalimantan Barat. Tujuannya untuk membantu pengembangan ekonomi masyarakat pesisir dan merawat hutan.

Kesenjangan penguasaan lahan di Kalimantan memang sangat tinggi, Perusahaan besar diberi izin sangat luas sementara petani aksesnya sangat sedikit karena warga dianggap tidak mampu mengelola hutan.

Dan di tahun 2014 SAMPAN dan warga pulau mulai bergerak untuk mengelola hutan sosial di daerah Padang tikar dan akhirnya hutan seluas 76000 hektar yang terdiri dari hutan mangrove, hutan rawa dan gambut diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk dijadikan hutan desa.

Akhirnya disetujui, dan ini adalah pengajuan hutan terluas di Indonesia.

Tidak hanya bercocok tanam, SAMPAN juga memperkenalkan budidaya madu kelulut, madu yang di hasilkan oleh lebah Trigona SP yang tidak bersengat.

Untuk pakan sehari-hari, lebah-lebah ini mengambil nektar atau sari bunga dari hutan mangrove di sekeliling pulau. Sebuah ekosistem atau rantai kehidupan yang ciamik, sehingga membuat warga bergerak secara sendiri untuk merawat mangrove.

Karena kalau manggorve tidak dirawat oleh warga maka lebah-lebah itu akan kesulitan mendapatkan nektar bunga untuk mereka konsumsi. Dampaknya kualitas dan jumlah madu akan menurun.

Kalau dihitung tingkat produksi madu kelulut dari Padang tikar bisa mencapai 2 setengah ton per bulan dengan taksiran nilai 325 juta perbulan. Rencananya produksi ini akan ditingkatkan lagi menjadi 10 ton per bulan sehingga bisa mencapai omset 1,3 miliar per bulan.

Buku Lima Hutan Satu Cerita, Sarongge Hutan Kopi dan Mimpi Petani

Hujan deras mengguyur atap Kawung. Tetesnya merembes lewat celah-celah daun. Kabut tebal turun: menggigil di kebun-kebun, membatas pandang hanya beberapa depa. Pagi ini, banyak petani yang terpaksa berdiang saja di hawu, perapian dapur mereka. Menghangatkan badan, sambil berharap, hujan sedikit reda.

November memang bulan teramat basah di sarongge Cianjur. Tetapi juga bulan yang dinanti-nanti, karena ini saat yang baik untuk menanam kopi.

Penggalan paragraph diatas adalah paragraph awal dari tulisan berjudul Sarongge Hutan Kopi dan Mimpi Petani. Cerita tentang seorang petani yang bernama Dudu Duroni yang berhasil mengembangkan budidaya kopi di Sarongge.

Bermula dari satu hektar berkembang menjadi 3 hektar, 2 hektar di lahan Perhutani yang masuk dalam program perhutanan sosial, 1 hektarenya lagi masuk ke dalam hutan desa.


Bapak Dudu Roni awalnya adalah petani sayur-mayur yang selalu berpindah-pindah di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Namun kini memutuskan untuk fokus bertani kopi setelah menikmati hasil panen pertamanya.

Bertani kopi itu harus bersabar, setidaknya tiga tahun pertama pohon kopi tidak akan berbuah. Barulah di awal tahun 2018 Dudu menikmati panen pertama pohon kopinya. Walau belum berumur 3 tahun tapi pohon kopinya sudah belajar berbuah.

Hal ini yang memancing Animo masyarakat untuk ikut menanam kopi dan pada tahun 2018 bulan Februari akhirnya mereka mengajukan perijinan perhutanan sosial ke Kementerian hutan dan lingkungan hidup untuk lahan seluas 21,5 hektar yang akan dikelola oleh 35 keluarga.

Dengan adanya kepastian hukum ini petani lebih tenang menggarap tanahnya, sehingga mereka tidak khawatir kalau tiba-tiba di tengah jalan tanaman mereka atau lahan mereka diserobot oleh pihak lain.

Pohon kopi yang optimum tiap panen mampu menghasilkan 50 kg buah kopi perpohon. Dengan total 43000 batang kopi yang dimiliki Pak Dudu dan kelompok taninya, maka kedepan pendapatan mereka pertahun bisa mencapai 1 koma 72 miliar.

Cianjur di masa VOC adalah pusat produksi kopi dunia tapi karena memang di masa itu, masyarakat hanya dijadikan pekerja perahan saja, maka ketika Belanda hengkang, perkebunan kopi ditinggal warga begitu saja. Bisa jadi karena trauma.

Kang Dudu Duroni tegas menyatakan bahwa ini tanah terakhirnya dan tak mau pindah lagi. Dia sadar hak mengelola perhutanan sosial itu baik untuk dirinya dan pelestari alam sekitar.

Hutan Sarongge kini menaruh mimpi kepada kopi yang harum, dengan bermekaran biji-biji kemerah itu, bermekaran pula mimpi untuk menghadirkan kesejahteraan bagi warga sekitar.

Buku Lima Hutan Satu Cerita, Desa Sarongge dan Hutan Kopi, Buku Lima Hutan Satu Cerita, Desa Sarongge dan Hutan Kopi, Buku Lima Hutan Satu Cerita, Desa Sarongge dan Hutan Kopi, Buku Lima Hutan Satu Cerita, Desa Sarongge dan Hutan Kopi

Komentar

Paling Banyak di Baca