Artikel Populer Bulan Ini
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Label
Disrupsi Telekomunikasi, Senja Kala Provider Telko Akankah Terjadi?
Tiga atau lima tahun ke belakang, kita dikejutkan oleh beberapa media cetak yang “dipaksa” tutup karena hebatnya disrupsi media (sosial) yang mengganggu keberlangsungan mereka. Hanya ada beberapa media cetak besar yang masih sanggup bertahan, itupun setelah mengurangi beberapa produk cetak mereka.
Selain budaya membaca kita yang masih rendah, kemajuan teknologi semakin memperburuk keadaan media saat ini.
Lalu bagaimana dengan wacana disrupsi komunikasi yang juga terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia. Apakah juga akan mempengaruhi perusahaan telekomunikasi yang ada di Indonesia?
Oke sebelum makin njelimet bahasannnya, ada yang belum mengerti istilah disrupsi? Menurut KBBI disrupsi itu tercabut dari akar, tentu kita nggak bisa menggunakan istilah ini mentah-mentah. Rheinald Kasali pernah bilang, disrupsi kurang lebih seperti disruption, gangguan atau ancaman Tentu maksud Rheinald Kasali tidak se vulgar terjemahannya.
Disrupsi menurut saya bisa diartikan inovasi atau perubahan mendasar yang sedang terjadi di tengah masyarakat dan berdampak luas. Apakah itu hal yang postif atau negatif? Apakah disrupsi itu ancaman atau peluang?
Contoh disrupsi yang sangat dekat dan terjadi di sekitar kita adalah di bidang transportasi. Kejayaan taksi sebagai angkutan umum yang eksklusif semakin pudar. Banyak perusahaan taksi yang meredup dan gulung tikar, tapi ada beberapa yang mencoba mengikuti arus disrupsi dan mencoba beradaptasi. Kita tentu tahu, siapa yang membuat disrupsi transportasi ini terjadi.
Contoh lain adalah di bidang pendidikan. Zaman sekolah saya, ikut bimbingan belajar (di luar sekolah) hanya untuk yang orang tuanya mampu, buat saya dan beberapa teman, ikut les yang diadakan guru sekolah sudah cukup membahagiakan.
Tapi kini, sebuah aplikasi bimbingan belajar yang bisa diakses di mana saja begitu menyedot perhatian masyarakat kita. Bahkan iklan mereka di TV atau media sosial lebih “Gila” ketimbang bimbingan belajar konvensional. Mungkin karena mereka gak perlu mikir, sewa gedung sehingga bisa promo gila-gilaan. Walau saya lihat, mereka mulai mendirikan kantor di beberapa lokasi.
Lalu apakah bimbingan belajar konvensional akan mati? Pilihannya ada dua, stagnan saja, atau mengikuti perubahan. Orang belajar tetap perlu tatap muka, tapi kalau ada aplikasi yang membantu mereka saat belajar di rumah, tentu akan ada nilai lebih.
Hadir menjadi narasumber hari itu adalah, Ir. Nonot Harsono, M.T dan Heru Sutadi.
Heru Sutadi adalah Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute. Indonesia ICT Institute hadir sebagai lembaga yang bersama-sama pemangku kepentingan lainnya memajukan sektor ICT Indonesia agar mempunyai manfaat yang lebih luas dan menjadi enabler pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia ICT Institute turut serta bersama memajukan ICT melalui penelitian, konsultasi, pemberdayaan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi yang melibatkan seluruh stakeholder ICT.
Sementara Ir. Nonot Harsono, M.T adalah pengamat teknologi yang juga menjadi dosen di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya dan pernah menjadi ketua jurusan telekomunikasi di tahun 2001-2005. Beliau juga pernah menjadi Komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) yang terdiri dari Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai unsur pemerintah dan Komite Regulasi Telekomunikasi sebagai unsur masyarakat.
Disrupsi Telekomunikasi memang tidak secepat teknologi digital, tapi pergerakannya pasti. Saya ingat betul tahun 90an, diawal telpon genggam menjadi barang (sangat) mewah (sekarang pun masih), harga kartu perdana bisa mencapai 500rb sampai 1juta. Pulsa termurah antara 100-200rb, itupun kalau gak salah cuma bisa beli pakai kartu kredit (koreksi kalau salah).
Kehadiran telpon genggam saat itu belum bisa mendisrupsi (mengganggu) telpon rumah dan telpon umum koin/kartu. Karena hanya digunakan oleh sebagian kalangan saja. Memasuki tahun 2000 para produsen telpon genggam makin aktif berproduksi dan berinovasi dengan mengeluarkan produk yang semakin terjangkau.
Provider telekomunikasi tepuk tangan kegirangan karena, semakin banyak yang menggunakan telepon genggam, maka target market mereka terbuka lebar. Tahun 2000-an harga pulsa termurah sekitar 50rb. Kedepannya harga pulsa yang dijual kepasaran semakin bervariasi.
Saya ingat telpon genggam pertama saya adalah Nokia 3210 dan kemudian beralih ke Sony Ericsson R310, masyarakat sering menyebutnya Ericsson Hiu, karena bentuk bagian atasnya menyerupai sirip hiu. Telpon genggam tahan banting, cocok untuk saya yang slebor. Semua telpon genggam itu saya beli dari tangan kedua alias bekas.
Bisa dibilang, perusahaan telekomunikasi menjadi industri paling seksi kala itu. Bayangkan untuk kirim SMS, kita dipungut biaya 1 rupiah per 1 karakter. Kalau harga ini masih diterapkan saat ini, bisa-bisa pulsa kita Cuma habis buat kirim pesan via aplikasi Whatapps.
Sampai 2010, pembangun infrastruktur BTS oleh para perusahaan telko sedang bergairah. Saya pernah bekerja disebuah perusahaan yang membangun BTS, perusahaan kecil yang hanya berisi 5-7 karyawan. Tugas saya adalah mensurvei sampai menegosiasikan lahan yang akan digunakan oleh salah satu perusahaan telko.
Bayangkan dalam seminggu bisa ada 3 tempat potensial yang harus disurvei, dan saat itu, tempat saya bekerja diberi tanggung jawab untuk daerah Jakarta Pusat dan Sukabumi. Tahun 2007-2008, keluar masuk kampung di daerah Sukabumi adalah pekerjaan saya.
Lalu bagaimana dengan keadaan saat ini? Masihkah perusahaan telko ini menjadi ladang usaha yang (sangat) menguntungkan?
Persaingan harga diantara perusahaan telko sudah wajar terjadi, tapi bukan berarti yang memberikan harga murah maka akan bertahan lama dan diminati masyarakat luas. Buktinya ada perusahaan telko yang meberikan fasilitas telpon murah kala itu, namun harus kibarkan bendera putih lebih dulu.
Menurut Nonot Harsono, Saat ini persaingan perusahaan telko masih terfokus siapa yang memberikan harga termurah. Di era disrupsi telekomunikasi, persaingan seperti ini sudah bukan jamannya lagi. Karena semakin murah, yang diuntungkan bukan perusahaan tapi pihak lain.
Perusahaan Telko beresiko menjadi hanya sebagai penyedia komoditas murah dan mudah tergantikan, yang biasa disebut dengan “data-transmission bandwidth”.
Persaingan yang terjadi saat ini selain menguntungkan pelanggan, juga membuat Industri & perusahaan Platform/Apps/OTT (over the top) seperti Google, Facebook, dan Netflix telah mendapatkan value dan peluang (keuntungan) yang sangat besar, bukan karena mereka meningkatkan skala industrinya, namun karena mereka menciptakan brand yang kuat memanfaatkan infrastruktur telekomunikasi.
Infrastruktur yang dibuat oleh perusahaan telko di Indonesia secara “berdarah-darah” (lebai penggambaran ya?) Tapi dengan mudahnya digunakan oleh perusahaan Platform/Apps/OTT tersebut.
Contoh, aplikasi chatting seperti Whatapps, Line dan Telegram. Mereka tidak punya jaringan tapi kita bisa chatting, kirim gambar dan video, telepon bahkan video call. Tidak punya jaringan tapi bisa melayani pelanggannya seperti mereka bikin infrastruktur jaringan di Indonesia.
Apa yang kini, perusahaan telko dapat? Hanya pembelian pulsa bulanan untuk paket data internet kan? Jarang ada yang beli pulsa untuk telepon atau kirim SMS. Bonus SMS saya dari salah satu perusahaan telko sampai ratusan nggak pernah saya pakai.
Bahkan data atau kebiasaan (habit) pelanggan pun, (konon) tidak dimiliki perusahaan telko. Karena data yang diambil dan digunakan oleh para perusahaan Platform/Apps/OTT seperti Google, Facebook, dan Netflix hanya numpang lewat saja sebagai aliran data.
Yang bisa mengolah data untuk kepentingan perusahaan ya hanya mereka (Google, Facebook, Netflix dll), bukan perusahan telko di Indonesia.
“Jika Google dan Facebook bisa mengetahui segala sesuatu tentang Users mereka, maka sebenarnya para Operator pun bisa mendapatkan informasi yang sama, karena semua data/informasi itu mengalir melalui network milik para operator, dalam perjalanan alirannya menuju ke Google dan Facebook”. Lanjut Nonot Harsono.
Menurut Heru Sutadi, Disrupsi teknologi mengubah banyak hal: bisnis, kompetisi, adopsi dan inovasi teknologi, organisasi perusahaan.
Untuk itu diperlukan visi dan kepemimpinan, inovasi dan adopsi teknologi serta transformasi organisasi agar perusahaan dapat sustain di tengah gempuran disrupsi teknologi, termasuk pada perusahaan-perusahaan telekomunikasi.
Dari laporan tahun 2018 terlihat dua perusahaan telko di Indonesia yang kinerja keuangannya berada diposisi minus (negatif). Bahkan di tahun 2018 jumlah pelanggan para perusahaan telko ini cenderung menurun.
Disrupsi dapat terjadi kapan saja, di sektor apapun termasuk telekomunikasi, dan pengaruhnya terhadap organisasi tradisional bisa menjadi sangat signifikan.
Dari kajian yang dilakukan, para penyelenggara telekomunikasi nampaknya perlu terus bergerak menghadapi dan melakukan transformasi digital yang bergerak cepat ini meskipun telah memiliki visi, misi dan strategi dengan caranya masing-masing.
Melakukan transformasi digital bagi sebuah perusahaan memang tidak mudah, harus membentuk mind-sets baru dan merombak organisasi. Karena transformasi digital memerlukan lebih dari sekadar meningkatkan bisnis dengan teknologi digital, tapi juga memerlukan pemikiran ulang dan restrukturisasi seluruh logika bisnis suatu organisasi. Lanjut Heru Sutadi menutup FGD siang itu.
Senja kalau perusahaan telekomunikasi akankah terjadi |
Lalu bagaimana dengan wacana disrupsi komunikasi yang juga terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia. Apakah juga akan mempengaruhi perusahaan telekomunikasi yang ada di Indonesia?
Oke sebelum makin njelimet bahasannnya, ada yang belum mengerti istilah disrupsi? Menurut KBBI disrupsi itu tercabut dari akar, tentu kita nggak bisa menggunakan istilah ini mentah-mentah. Rheinald Kasali pernah bilang, disrupsi kurang lebih seperti disruption, gangguan atau ancaman Tentu maksud Rheinald Kasali tidak se vulgar terjemahannya.
Disrupsi menurut saya bisa diartikan inovasi atau perubahan mendasar yang sedang terjadi di tengah masyarakat dan berdampak luas. Apakah itu hal yang postif atau negatif? Apakah disrupsi itu ancaman atau peluang?
Contoh disrupsi yang sangat dekat dan terjadi di sekitar kita adalah di bidang transportasi. Kejayaan taksi sebagai angkutan umum yang eksklusif semakin pudar. Banyak perusahaan taksi yang meredup dan gulung tikar, tapi ada beberapa yang mencoba mengikuti arus disrupsi dan mencoba beradaptasi. Kita tentu tahu, siapa yang membuat disrupsi transportasi ini terjadi.
Contoh lain adalah di bidang pendidikan. Zaman sekolah saya, ikut bimbingan belajar (di luar sekolah) hanya untuk yang orang tuanya mampu, buat saya dan beberapa teman, ikut les yang diadakan guru sekolah sudah cukup membahagiakan.
Tapi kini, sebuah aplikasi bimbingan belajar yang bisa diakses di mana saja begitu menyedot perhatian masyarakat kita. Bahkan iklan mereka di TV atau media sosial lebih “Gila” ketimbang bimbingan belajar konvensional. Mungkin karena mereka gak perlu mikir, sewa gedung sehingga bisa promo gila-gilaan. Walau saya lihat, mereka mulai mendirikan kantor di beberapa lokasi.
Lalu apakah bimbingan belajar konvensional akan mati? Pilihannya ada dua, stagnan saja, atau mengikuti perubahan. Orang belajar tetap perlu tatap muka, tapi kalau ada aplikasi yang membantu mereka saat belajar di rumah, tentu akan ada nilai lebih.
Disrupsi Telekomunikasi
Nah baru kita masuk ke point intinya, Disrupsi Telekomunikasi. Semua ini berawal dari evolusi teknologi yang sangat cepat. Saya juga baru menyadari ini saat hadir di acara FGD Indonesia ICT Institute Jakarta, 5 February 2020 mengenai "Disrupsi Telekomunikasi di Balai Kartini, ruang Anggrek.Hadir menjadi narasumber hari itu adalah, Ir. Nonot Harsono, M.T dan Heru Sutadi.
Heru Sutadi adalah Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute. Indonesia ICT Institute hadir sebagai lembaga yang bersama-sama pemangku kepentingan lainnya memajukan sektor ICT Indonesia agar mempunyai manfaat yang lebih luas dan menjadi enabler pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia ICT Institute turut serta bersama memajukan ICT melalui penelitian, konsultasi, pemberdayaan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi yang melibatkan seluruh stakeholder ICT.
Sementara Ir. Nonot Harsono, M.T adalah pengamat teknologi yang juga menjadi dosen di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya dan pernah menjadi ketua jurusan telekomunikasi di tahun 2001-2005. Beliau juga pernah menjadi Komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) yang terdiri dari Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai unsur pemerintah dan Komite Regulasi Telekomunikasi sebagai unsur masyarakat.
Nonot Harsono dan Heru Sutadi menjadi narasumber di acara FGD Indonesia ICT Institute |
Disrupsi Telekomunikasi memang tidak secepat teknologi digital, tapi pergerakannya pasti. Saya ingat betul tahun 90an, diawal telpon genggam menjadi barang (sangat) mewah (sekarang pun masih), harga kartu perdana bisa mencapai 500rb sampai 1juta. Pulsa termurah antara 100-200rb, itupun kalau gak salah cuma bisa beli pakai kartu kredit (koreksi kalau salah).
Kehadiran telpon genggam saat itu belum bisa mendisrupsi (mengganggu) telpon rumah dan telpon umum koin/kartu. Karena hanya digunakan oleh sebagian kalangan saja. Memasuki tahun 2000 para produsen telpon genggam makin aktif berproduksi dan berinovasi dengan mengeluarkan produk yang semakin terjangkau.
Provider telekomunikasi tepuk tangan kegirangan karena, semakin banyak yang menggunakan telepon genggam, maka target market mereka terbuka lebar. Tahun 2000-an harga pulsa termurah sekitar 50rb. Kedepannya harga pulsa yang dijual kepasaran semakin bervariasi.
Saya ingat telpon genggam pertama saya adalah Nokia 3210 dan kemudian beralih ke Sony Ericsson R310, masyarakat sering menyebutnya Ericsson Hiu, karena bentuk bagian atasnya menyerupai sirip hiu. Telpon genggam tahan banting, cocok untuk saya yang slebor. Semua telpon genggam itu saya beli dari tangan kedua alias bekas.
Bisa dibilang, perusahaan telekomunikasi menjadi industri paling seksi kala itu. Bayangkan untuk kirim SMS, kita dipungut biaya 1 rupiah per 1 karakter. Kalau harga ini masih diterapkan saat ini, bisa-bisa pulsa kita Cuma habis buat kirim pesan via aplikasi Whatapps.
Sampai 2010, pembangun infrastruktur BTS oleh para perusahaan telko sedang bergairah. Saya pernah bekerja disebuah perusahaan yang membangun BTS, perusahaan kecil yang hanya berisi 5-7 karyawan. Tugas saya adalah mensurvei sampai menegosiasikan lahan yang akan digunakan oleh salah satu perusahaan telko.
Bayangkan dalam seminggu bisa ada 3 tempat potensial yang harus disurvei, dan saat itu, tempat saya bekerja diberi tanggung jawab untuk daerah Jakarta Pusat dan Sukabumi. Tahun 2007-2008, keluar masuk kampung di daerah Sukabumi adalah pekerjaan saya.
Lalu bagaimana dengan keadaan saat ini? Masihkah perusahaan telko ini menjadi ladang usaha yang (sangat) menguntungkan?
Persaingan harga diantara perusahaan telko sudah wajar terjadi, tapi bukan berarti yang memberikan harga murah maka akan bertahan lama dan diminati masyarakat luas. Buktinya ada perusahaan telko yang meberikan fasilitas telpon murah kala itu, namun harus kibarkan bendera putih lebih dulu.
Menurut Nonot Harsono, Saat ini persaingan perusahaan telko masih terfokus siapa yang memberikan harga termurah. Di era disrupsi telekomunikasi, persaingan seperti ini sudah bukan jamannya lagi. Karena semakin murah, yang diuntungkan bukan perusahaan tapi pihak lain.
Perusahaan Telko beresiko menjadi hanya sebagai penyedia komoditas murah dan mudah tergantikan, yang biasa disebut dengan “data-transmission bandwidth”.
Persaingan yang terjadi saat ini selain menguntungkan pelanggan, juga membuat Industri & perusahaan Platform/Apps/OTT (over the top) seperti Google, Facebook, dan Netflix telah mendapatkan value dan peluang (keuntungan) yang sangat besar, bukan karena mereka meningkatkan skala industrinya, namun karena mereka menciptakan brand yang kuat memanfaatkan infrastruktur telekomunikasi.
Infrastruktur yang dibuat oleh perusahaan telko di Indonesia secara “berdarah-darah” (lebai penggambaran ya?) Tapi dengan mudahnya digunakan oleh perusahaan Platform/Apps/OTT tersebut.
Contoh, aplikasi chatting seperti Whatapps, Line dan Telegram. Mereka tidak punya jaringan tapi kita bisa chatting, kirim gambar dan video, telepon bahkan video call. Tidak punya jaringan tapi bisa melayani pelanggannya seperti mereka bikin infrastruktur jaringan di Indonesia.
Apa yang kini, perusahaan telko dapat? Hanya pembelian pulsa bulanan untuk paket data internet kan? Jarang ada yang beli pulsa untuk telepon atau kirim SMS. Bonus SMS saya dari salah satu perusahaan telko sampai ratusan nggak pernah saya pakai.
Bahkan data atau kebiasaan (habit) pelanggan pun, (konon) tidak dimiliki perusahaan telko. Karena data yang diambil dan digunakan oleh para perusahaan Platform/Apps/OTT seperti Google, Facebook, dan Netflix hanya numpang lewat saja sebagai aliran data.
Yang bisa mengolah data untuk kepentingan perusahaan ya hanya mereka (Google, Facebook, Netflix dll), bukan perusahan telko di Indonesia.
“Jika Google dan Facebook bisa mengetahui segala sesuatu tentang Users mereka, maka sebenarnya para Operator pun bisa mendapatkan informasi yang sama, karena semua data/informasi itu mengalir melalui network milik para operator, dalam perjalanan alirannya menuju ke Google dan Facebook”. Lanjut Nonot Harsono.
Menurut Heru Sutadi, Disrupsi teknologi mengubah banyak hal: bisnis, kompetisi, adopsi dan inovasi teknologi, organisasi perusahaan.
Untuk itu diperlukan visi dan kepemimpinan, inovasi dan adopsi teknologi serta transformasi organisasi agar perusahaan dapat sustain di tengah gempuran disrupsi teknologi, termasuk pada perusahaan-perusahaan telekomunikasi.
Dari laporan tahun 2018 terlihat dua perusahaan telko di Indonesia yang kinerja keuangannya berada diposisi minus (negatif). Bahkan di tahun 2018 jumlah pelanggan para perusahaan telko ini cenderung menurun.
Disrupsi dapat terjadi kapan saja, di sektor apapun termasuk telekomunikasi, dan pengaruhnya terhadap organisasi tradisional bisa menjadi sangat signifikan.
Dari kajian yang dilakukan, para penyelenggara telekomunikasi nampaknya perlu terus bergerak menghadapi dan melakukan transformasi digital yang bergerak cepat ini meskipun telah memiliki visi, misi dan strategi dengan caranya masing-masing.
Melakukan transformasi digital bagi sebuah perusahaan memang tidak mudah, harus membentuk mind-sets baru dan merombak organisasi. Karena transformasi digital memerlukan lebih dari sekadar meningkatkan bisnis dengan teknologi digital, tapi juga memerlukan pemikiran ulang dan restrukturisasi seluruh logika bisnis suatu organisasi. Lanjut Heru Sutadi menutup FGD siang itu.
Komentar
Paling Banyak di Baca
Tips Jakarta-Bali Lewat Tol Trans Jawa Menggunakan Mobil Pribadi
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Review ASUS VivoBook X441U, Laptop Dengan Suara Menggelegar
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
ASUS INTEL Blog Competition
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Kunci dari uraian tersebut minimalnya :
BalasHapusMenurut Heru Sutadi, Disrupsi teknologi mengubah banyak hal: bisnis, kompetisi, adopsi dan inovasi teknologi, organisasi perusahaan.
Pola hidup Kita juga banyak yang berubah.
Baru sadar kalau sekarang memang jarang sekali berkomunikasi melalui sms atau telp. Sekarang selalu lewat WA.
BalasHapusIya benar perusahaan telekomunikasi sekarang sudah seharusnya terus bergerak dan melakukan transformasi digital untuk menghadapi Disrupsi Telekomunikasi.
Iya ya masuk era digital anggap aja buat perusahaan yang dulu hit secara konvensional pun bisa tumbang ya. Karena memang semua lini harus bersinergi baru.
BalasHapusJujur masih agak jlimet ak cerna mas tentang Dirupsi, tapi jujur sudah lama banget saya tidak menggunakan SMS untuk kirim pesan karna tergantikan oleh WA
BalasHapus