Artikel Populer Bulan Ini

Ada Apa Di Balik 98..?

dibalik98





“Bukan Slayernya Yang Penting, Tapi Hatinya”
Akhirnya pencapaian itu berhasil juga, setelah melihat premiere Pendekar Tongkat emas dan Hijab di awal Desember dan Januari yang lalu. Pada 28 Januari 2015 -Walaupun bukan saat premiere-  saya berkesempatan menikmati film Di Balik 98 di cinema dekat kediaman saya. Dan informasi “lengsernya” Film in
i dari bioskop saya dapat dari running text sebuah stasiun TV. Jadi sebelum film yang di hari kelima pemutarannya ini sudah di lihat 172.242 penonton ini benar-benar turun, saya harus tulis riviewnya.

Dibalik 98 salah satu film yang harus saya tonton, Kenapa?; Ini adalah film berlatar belakang sejarah Indonesia di tahun 1998. Sebuah momen transisi pemerintahan orde baru yang menyebabkan kerugian materi dan non material yang sangat besar, serta tragedi kemanusiaan dan kerusuhan masive yang berawal dari ibukota dan sekitarnya.

Saya yang baru menyelesaikan pendidikan menengah atas dimasa itu, merasakan dan melihat langsung kekacauan yang mencekam, berlanjut euforia kebebasan demokrasi yang berhasil menurunkan pemerintahan yang sudah berkuasa 32 tahun. Semua campur aduk, tidak mudah untuk menggambarkan keadaan saat itu. Jadi saya harus lihat seperti apa film ini akan bercerita.

Alasan lainnya adalah, sosok Lukman Sardi. Dia salah satu aktor favorit saya anak dari maestro biola Indonesia Idris Sardi. Dan menyaksikan karya pertama Lukman Sardi sebagai sutradara merupakan pertaruhan bagi saya.

Dan alasan terakhir, melihat film Indonesia di Cinema merupakan wujud dukungan saya untuk  perkembangan film Indonesia. Ketimbang saya membeli DVD bajakan yang hanya menguntungkan  sebagian pihak.

Film yang banyak dikritik oleh para aktifis mahasiswa,  menurut saya sangat menarik. Entah kenapa mereka mengkritik, apa karena melenceng dari sejarah atau karena di film ini nama mereka atau almamater mereka tidak di sebut-sebut.
Yang jelas, sejak awal ini adalah film “berlatar belakang sejarah” bukan film sejarah. Memang butuh  kedewasaan bagi para penikmat film Indonesia untuk dapat memahami bahwa ini sebuah karya fiksi, tapi karena kejadiannya begitu dekat dan penamaan beberapa tokohnya yang di buat sama sedikit membingungkan batasan film ini. Mana yang fakta sejarah atau hanya fiksi.

Daripada terlalu memikirkan mana yang fakta atau fiksi, sebelum filmmya berjalan terlalu jauh. Saya tetapkan bahwa ini adalah film fiksi agar saya bisa nyaman menikmati film ini.
Penggambaran kehidupan kelas menengah ibukota sangat terasa, gang sempit lalu tatap muka para penduduk sekitar begitu terasa akrab. Sejauh ini selama kita mendengar tentang tragedi 98 yang kita tahu adalah konflik politik yang begitu kuat. Tapi di film ini, Lukman Sardi coba menggambarkan konflik keluarga, cinta dan pertemanan yang masih jarang kita dengar.
Cukup menarik bagaimana, sepasang suami istri beserta adiknya ikut merasakan terjebak dalam konflik politik secara tidak sengaja dan bagaimana dua anak manusia yang dilanda cinta menyelesaikan masalah mereka ditengah kerusuhan massa yang menghancurkan keluarga mereka. Semuanya terasa menyentuh di film ini.

Kerusuhan yang terjadi di tahun 98 tergambarkan dengan sangat baik.Kerumunan massa, demonstrasi mahasiswa yang terjadi serta suasana ibukota yang mencekam.
Salut bagi Lukman Sardi yang berhasil mengkombinasikan stock shoot pada tahun 98 yang di dapat dari salah satu stasiun TV swasta kedalam karyanya. Setidaknya Ini salah satu scene yang saya yakin adalah fakta sejarah karena di masa itu sering kali diputar ulang di televisi nasional.

Satu yang juga cukup luar biasa menurut saya adalah keberhasilan Lukman Sardi menggandeng aparat TNI-Polri beserta perlengkapan perangnya untuk berperan serta dalam film ini. Korps aparat ini tervisualisasikan dengan apik dan nyata sekali. Walau di film ini sosok aparat yang kejam dimasa itu tidak begitu nampak. Sepertinya Lukman Sardi ingin mengangkat sisi humanis para aparat ini. Karena di Tragedi 98 Semua adalah korban, bahkan para aparat yang pada saat itu menjaga keamanan ibukota pun, punya konflik dan kepentingan untuk keluarga mereka. Mungkin ini juga yang jadi bahan kritik para aktivis
mengenai film ini ya..?

sumber foto https://www.facebook.com/pages/Di-Balik-98/341281102663087

Dari sisi para pemain, Lukman Sardi yang menjadi sutradara untuk pertama kali ini berhasil mengarahkan para pemain dengan baik. Di dukung beberapa pemain yang pernah bermain bersama di film Merah Putih I dan II -minus darius- kedekatan mereka menghasilkan karya yang luar biasa. Tidak heran dengan 200 kru dan kurang lebih 1000 extras film ini begitu tampil riil saat adegan kerusuhan. Walau ada efek yang terlihat kasar saat mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR.

Catatan penting di akhir film ini adalah, “sebuah perjuangan pasti memakan korban” Sebuah drama pun terjadi, ada yang di tinggalkan untuk sebuah perubahan.
Selain itu drama melankolis terjadi dipenghujung film, ketika 2 mantan kekasih dipertemukan setelah 17 tahun. Pengungkapan yang menurut saya sungguh diluar“biasa”. Sekali lagi Salut untuk Penulis, Sutradara, Pemain dan semua kru yang berjibaku untuk menghasilkan sebuah karya yang berbeda.

Satu pertanyaan saya yang masih mengganjal, bagaimana nasib sibocah pemulung itu..?
Sekali lagi, silahkan menikmati film drama yang berlatar belakang peristiwa 98 ini dengan mengosongkan gelas dalam otak kita terlebihdahulu.  -khususnya untuk para rekan-rekan penggerak di tahun 98′-.

Entah fakta atau bukan.
- Saya mencatat setidaknya ada 3 moment adanya gap komunikasi antara Presiden dan wakilnya.
- Penggambaran presiden laksana raja, semua harus tertunduk dan tersenyum saat beliau lewat. Tukang kebun pun harus berhenti bekerja terlebih dahulu

Komentar

Paling Banyak di Baca